Otomatisasi pertanian menjanjikan peningkatan efisiensi dan produktivitas yang signifikan, namun implementasinya di Indonesia menghadapi beragam tantangan otomatisasi pertanian. Dua hambatan utama adalah tingginya investasi awal yang dibutuhkan dan kesiapan sumber daya manusia (SDM) untuk mengoperasikan teknologi canggih ini. Meskipun potensi manfaatnya besar, mengatasi tantangan otomatisasi pertanian ini membutuhkan perencanaan matang dan strategi komprehensif. Pada hari Rabu, 25 Juni 2025, dalam simposium nasional pertanian digital di Jakarta, Kementerian Pertanian mengakui bahwa dua aspek ini menjadi fokus utama dalam mendorong adopsi teknologi di sektor agrikultur.
Investasi awal untuk otomatisasi pertanian bisa sangat besar. Pembelian drone untuk pemantauan lahan, sensor tanah, sistem irigasi otomatis, robot pemanen, atau perangkat lunak pertanian presisi memerlukan modal yang tidak sedikit. Bagi sebagian besar petani di Indonesia yang berskala kecil dan menengah, biaya ini menjadi penghalang utama. Seringkali, perbankan atau lembaga keuangan juga belum sepenuhnya familiar dengan model pembiayaan untuk teknologi pertanian, sehingga akses kredit menjadi sulit. Sebagai contoh, sebuah proyek percontohan otomatisasi irigasi di sebuah koperasi petani di Jawa Tengah pada Januari 2025 membutuhkan investasi awal sekitar 150 juta rupiah, angka yang sulit dijangkau oleh petani individu.
Selain masalah biaya, tantangan otomatisasi pertanian lainnya adalah kesiapan SDM. Petani tradisional mungkin belum memiliki keterampilan digital atau teknis yang memadai untuk mengoperasikan sistem otomatisasi. Dibutuhkan pelatihan intensif untuk membekali mereka dengan pengetahuan tentang penggunaan software, analisis data dari sensor, atau pemeliharaan dasar peralatan otomatis. Tanpa pelatihan yang memadai, teknologi canggih ini bisa menjadi “gajah putih” yang tidak termanfaatkan optimal. Survei yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Petani Pintar pada 20 April 2025 menunjukkan bahwa 70% petani yang disurvei menyatakan tertarik pada teknologi, tetapi 85% merasa tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk mengoperasikannya.
Untuk mengatasi tantangan otomatisasi pertanian ini, diperlukan peran aktif dari pemerintah, sektor swasta, dan lembaga pendidikan. Pemerintah dapat memberikan insentif pajak, subsidi, atau program pinjaman lunak untuk pembelian teknologi pertanian. Sektor pendidikan perlu mengintegrasikan kurikulum pertanian digital di sekolah kejuruan dan perguruan tinggi, sementara swasta dapat menyediakan program pelatihan yang terjangkau dan mudah diakses oleh petani. Dengan kolaborasi ini, diharapkan otomatisasi pertanian dapat benar-benar diimplementasikan secara luas, membawa pertanian Indonesia ke era yang lebih modern dan efisien.